Suatu siang di tahun 2004, saya berlari kencang menuju
pantai. Telanjang kaki. Penuh semangat bermandi penasaran. KM Don Meri baru
saja tiba dan berlabu di depan kampung. “akhirnya sampe juga ...” ucap syukur
setelah menunggu kapal ini seminggu lamanya.
Segera saya ikut perahu (longboat) warga yang hendak menuju kapal
pengangkut barang dari Ternate itu – dulu, pengiriman barang-barang dalam
jumlah banyak dari Ternate ke kampung-kampung di pesisir Halmahera Tengah harus
menggunakan kapal laut karena akses darat sangat susah. Rasa penasaran makin
membuncah kala perahu mulai mendekati lambung kapal. Ketika sandar, saya
langsung loncat ke geladak dan menerawang lewat jendela kabin. Mencari-mencari.
Tapi tidak kelihatan juga.
Saya memutuskan menunggu semua barang-barang yang diturunkan
di angkut ke atas perahu. Setelah beberapa saat, akhirnyaaaa kegelisahan saya
terbayar tuntas. Rasa penasaran hilang terbawa angin bersama perahu yang melaju
meninggalkan kapal menuju daratan.
Tiba di daratan, tanpa melepas plastik-plastik yang
terbungkus, saya langsung tancap membawanya berkenalan dengan jalan tanah.
Keliling kampung. Saya senyum-senyum sendiri sepanjang jalan. Senang, bahagia
atau apalah, saya bingung menggambarkan bagaimana rasanya seorang anak kecil
mendapat sepeda baru.
“beeyy eeee Kiki speda baru moooo..” kata orang-orang yang
saya jumpai sepanjang jalan.
...
Saya masih ingat betul kisah itu, menjemput dan pamer sepeda
baru. Sepeda itu adalah hadiah dari kedua orang tua saya karena mendapat peringkat
(saya lupa peringkat berapa) saat ulangan naik ke kelas 5 SD. (perlu dicatat
bahwa perjuang merengek minta dibelikan
sepeda ini sejak kelas 3 SD, saat
sebagian teman-teman so ada speda, haha).
Saat awal-awal sepeda baru, tidak kenal hujan, panas, siang,
malam, main sepeda terus. Kemana-mana pasti dengan sepeda.
SPEDA
Memasuki SMP, karena kawanan pesepeda sangat banyak, kami
membentuk geng bernama SPEDA (Salah Pegang, Dapa). Saya lupa siapa pimpinanya
waktu itu. hehe. Selain bergerombol ke sekolah atau ke kebun mencuri kelapa dan
mangga, kami sering balapan di jalanan kampung. Mau jalan tikus atau jalan
kambing, kami trabas. Tak mengenal waktu, siang dan malam. Geng kami pun dicap
meresahkan oleh masyarakat.
Jangan tanya siapa yang pernah kami tabrak, dari anak kecil
sampai orang-orang tua pernah kami tabrak semua..
Jangan tanya sudah berapa kali jatuh, adooooooooo ulang-ulang
kali. Pitak kecil di kepala saya ini artefaknya. Kecelakaan terparah yang saya
alami sepanjang hidup adalah jatuh dari sepeda. Tak kala saya jungkir dari
sepeda saat meluncur di gunung Kawinet (gunung dengan tanjakan tercuram di
kampung) dan terpental -+ sejauh 40 meter. Alhasil, jahitan di kepala dan
bolak-balik ke tukang urut selama 2 bulan lebih. Saya sadar, itu akumulasi dari
sumpah dan keresahan masyarakat karena ulah “geng” kami. Hahaha
Saya meninggalkan sepeda ketika berhijrah ke Ternate untuk
melanjutkan SMA. Sepeda ditinggalkan untuk dipake oleh adik-adik saya. Sampai
sekarang, si Wimcycle itu masih ada namun nongkrong di gudang karena gearnya
rusak.
bersambung ....
bersambung ....
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon