Di kampung saya, di pelosok Halmahera Tengah, kami sudah biasa mendengar cerita tentang orang yang tiba-tiba didatangi sosok Suanggi[1]. Biasanya, jika tidak bermaksud hingga mencelakai, suanggi suka mendatangi dan mengganggu atau meneror korbannya terus menerus. Tak jarang, suanggi bisa mencelakai korbannya secara langsung maupun jarak jauh (doti-doti).
Di tiap
daerah di Maluku Utara, Suanggi memiliki tipologi dan klasifikasi yang berbeda-beda.
Terlepas dari cerita suanggi di atas, saya ingin bercerita, atau mungkin Anda
juga sudah tau, bahwa ada sosok “suanggi-suanggi” nyata yang bertengger di sekitar
kita. Tidak perlu mantra khusus untuk melihat bentuknya.
“Suanggi”
ini biasanya tiba-tiba muncul, saat menjelang pesta politik (baca: Pilkada). Kehadirannya
ada di sudut-sudut kota. Ia ada dan berlipat ganda. Di mana ada lahan atau space kosong, kuku-kukunya langsung
ditancapkan, bahkan di ruang-ruang publik perkotaan. Rupa-rupa ukuran dan bentuk
berjejer di sisi jalan.
Seperti
sebelum-sebelumnya ketika mejelang momentum politik, menuju momentum Pilkada
tahun depan, “suanggi-suanggi” ini bermunculan dan berupaya mensosialisasikan
dirinya melalui berbagai cara. Baliho, spanduk, bilboard maupun stiker
meramaikan tempat-tempat umum.
Saya, atau
mungkin masyarakat lainnya, sangat merasa terganggu dengan “suanggi-suanggi”
yang satu ini. Kita seakan-akan diteror oleh kehadiran mereka. Bagaimana tidak,
ketika keluar rumah, berada di jalan, santai di taman, pergi ke pasar hingga menuju
kampus, reklame politik ini bertebaran di mana-mana. Saking banyaknya dan tidak
beraturan, kehadirannya menjadi penganggu pemandangan atau polusi visual. [2]
Bukankah
ini bagian dari penjarahan ruang? Karena kita sebagai masyarakat juga berhak
atas ruang yang bebas dari polusi visual, apalagi dari reklame politik. Kalau
boleh jujur, kami sangat muak melihat boliho “suanggi” dengan kepsyen-kepsyen rayuan perubahan itu.
Sejatinya,
mensosialisasikan diri – sebagai figur politik – adalah bagian dari kampanye dan kampanye merupakan
bagian dari proses penyampaian visi dan misi politik. Akan tetapi kehadirannya
jangan seperti suanggi, yang tiba-tiba muncul begitu saja – dengan boliho dan
spanduk yang menjadi polusi visual bagi masyarakat.
Agar tidak
terkesan hanya mengkritik, saya mencoba memeberi beberapa tawaran jika ada dari
para pembaca yang bakal mencalonkan diri sebagai kandidat dan ingin
mensosialisasikan diri pada masyarakat. Walau saya tak pandai soal politik dan
Anda-nda pastinya yang lebih paham, tapi semoga ini menjadi alternatif yang
sedikit cerdas dari pada tiba-tiba menancap boliho, yang kehadirannya mirip
suanggi.
Pertama,
bagaimana kalau Anda sebagai bakal calon giat-giatlah menuangkan ide-ide dan
gagasan Anda dalam bentuk tulisan sepert esai, opini atau artikel lainnya lalu
kirimkan ke media massa. Dari tulisan
Anda, masyarakat bisa membaca, lebih mengenal, dan menilai dengan jelas siapa
dan bagaimana gagasan yang ditawarkan, dan sudah tentu kualitas intelektual
anda. Tidak hanya tiba-tiba menampakkan diri dengan rayuan kepsyen-kepsyen singkat pada boliho yang tak berubah dari zaman ke
zaman. Torang bosan. Tapi ingat, tulisannya
jangan hasil plagiat, apalagi bayar orang untuk menulis. Mending jang bacalon.
Kedua,
rajin-rajinlah mangente masyarakat.
Datang dan berdialog dengan warga. Dengarkan keluahan mereka, lalu coba
mendiskusikan ide dan gagasan dengan warga. Sejatinya, ini termasuk pendidikan
politik, sekalian silaturahmi dengan masyarakat, agar anda dikenal. Terlebih
jika anda melakukan berbagai aksi-aksi sosial terlebiih dahulu. Oh ya, satu hal
yang perlu diingat, jangan hanya tiba-tiba datang bagi-bagi sembako, apalagi
amplop ketika mendekati momentum Pemilukada untuk mau suara. Ceiii. Itu cara lama yang kotor dan
meracuni masyarakat menjadi pragmatis. Sama deng suanggi yang suka doti-doti.
Ketiga,
soal ini saya yakin generasi milineal jagonya. Makanya, anda bapak-ibu, nanti
harus belajar banyak kepada generasi milineal. Apa itu? baca terus sampai
habis. Nah, di zaman teknologi informasi ini, terutama kaum urban, semua
kalangan pasti menggunakan gadget. Bapak ibu bisa memanfaatkan teknologi ini
untuk alat dan media kampanye atau promosi diri yang murah dan tepat – jika menyasar
kaum urban.
Platform online (baca : media sosial) menjadi pemudah untuk memperkenalkan
diri dan penyampaian gagasan. Karena online bersifat horizontal conversation, anda bisa berinteraksi tanpa batas untuk
menggalang suara terkait agenda politik anda, daripada anda menggunakan baliho,
bilboard, dll., yang justru hanya menjadi polusi visual perkotaan. Soal
bagaimana konten komunikasi politik yang menggugah dan menggerakan? Itu tugas
anda dan tim sukses untuk belajar melek literasi media. Belajar ya, bukan
membayar buzzer .
Terakhir, untuk
pemerintah, kami sebagai masyarakat berharap kepekaanya dalam melihat fenomena
ini. Jika sudah ada aturan yang mengatur soal pemasangan spanduk dan boliho,
terkhusus reklame politik, kami mohon ketegasannya dalam penegakan aturan,
terutama untuk “suanggi-suanggi” yang tiba-tiba muncul dan bergentayangan ini. Semoga
saja tidak ada tebang pilih apalagi karena relasi kuasa. Sebab beberapa pengusaha
dan penguasa daerah ini lah yang paling banyak reklame politiknya.
Sekali
lagi, kami sebagai masyarakat, hanya ingin ruang kami terbebas dari reklame
politik “suanggi-suanggi” itu. Karena kehadirannya menganggu estetika kota dan menjadi polusi
bahkan teror visual bagi kami. Jangan
jadi “suanggi” dalam kota ini.
[1] Suanggi adalah orang yang memiliki atau menggunakan ilmu-ilmu hitam tertentu. Melalui ritual-ritual, suanggi bisa menjelma menjadi sosok yang menyeramkan. Diceritakan, suanggi sering mencelakai orang yang dijadikan target, secara langsung maupun jarak jauh (doti-doti). Korbannya akan mengalami penyakit-penyakit aneh dan bahkan berujung pada penderitaan hingga kematian.
[2] Polusi visual adalah sampah yang di hasilkan dari produk visual seperti sampah billboard, brosur, baliho, poster dan produk visual baru seprti urban screen dan sebagainya. Polusi visual diartikan sebagi sampah estetik yang mempengaruhi pengalaman visual kita secara emosional, yang secara langsung menggangu mata kita menikmati alam semesta ini. Polusi visual adalah sama halnya “sampah mata”.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon