Orang desa butuh makan. Orang kota butuh makan. Saya butuh makan. Kita semua butuh makan, untuk bertahan hidup.
Makanan diperolah dari
hasil berkebun atau bertani. Berkebun atau bertani itu butuh tanah.
Tanah untuk bertani hanya tersedia di desa.
Nasi yang kita makan
dari desa. Sayur yang kita makan dari desa. Termasuk mie instan yang kau makan,
komposisi bahannya dari hasil pertanian di desa. Singkat kata, semua yang kita makan dari hasil pertanian, dari desa.
Di desa, di
pedalaman maupun di pesisir dan pulau-pulau kecil, orang-orang risau dan terus kuatir. Risau akan
nilai tukar pertanian yang rendah. Kuatir sehubungan dengan akses pada tanah
pertanian, hutan dan ruang hidup yang kian menyempit. Konversi tanah-tanah
pertanian ke non-pertanian. Meningkatnya konsentrasi penguasaan tanah
oleh investor.
Sementara itu, semakin
tinggi pendidikan pendidikan orang desa, semakin kuat pula motivasi untuk
meninggalkan desa. Desa ditinggalkan pemuda-pemudi, termasuk untuk bersekolah.
Kita inilah yang memenuhi kota-kota kabupaten, provinsi dan metropolitan. Yang
berhasil menjadi kelas menengah di kota, tidak kembali ke desa dan menjadi
konsumtif.
Saya terus berpikir,
jika tanah-tanah pertanian hilang, ditambah berkurangnya orang yang menjadi
petani, nantinya kita (yang di desa dan kota) mau makan apa dan darimana ??
Keadaan ini tidak
mengajak kita untuk bersedih dan meratapi keadaan, “tetapi kita merasa,
berpikir, memutuskan, dan bekerja.”
*Catatan singkat ini
sebagai refleksi saya setelah membaca buku “Panggilan Tanah Air” karya Noer Fauzi Rachman.
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon