Pusara di Lembah Sepi


Pusara di Lembah Sepi

Hari mulai senja ketika kami memasuki lembah yang dikelilingi perbukitan berhutan tropis. Sepi. Suara burung riuh bersahutan. Gemuruh air sungai dari kejauhan mengantar kami menuruni anak tangga menuju sebuah areal pemakaman yang dikelilingi persawahan. Areal pemakaman itu tidak terlalu luas, kurang lebih 50 puluh meter persegi. Belasan pohon cempaka tumbuh disela-sela makam.

Tampak terlihat biasa saja seperti pemakaman warga pada umumnya. Namun siapa sangka disanalah letak pusara seseorang yang puluhan tahun menjadi misteri. Namanya pernah ditabukan dalam lembaran sejarah oleh rezim yang pernah berkuasa selama 30 tahun lebih. Padahal, beliau adalah seorang Bapak Bangsa yang merumuskan konsep “Menuju Republik Indonesia.”

Adalah Ibrahim Datuk Tan Malaka, pria kelahiran Suliki, Lima Puluh Kota, Sumatera Barat, 2 Juni 1897. Pemimpin revolusioner gerakan kiri Indonesia ini, oleh Presiden Soekarno melalui Kepres no. 53 tahun 1963 disematkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional Republik Indonesia.

Lama menjadi teka-teki, pusaranya ditemukan berkat penelusuran panjang Harry Poeze. Peniliti asal Belanda yang fokus meneliti sosok Tan Malaka, membawanya hingga ke tempat pelarian terakhir Tan di Kediri. Pada tahun Pada 2009, bersama dengan tim forensik, saat ditemukan kerangka jenazah Tan dalam kondisi tangan terikat kebelakang.

Saat kami kunjungi, makam pemilik 23 nama samara selama pelarian ini telah dipugar. Pada nisan tertulis “Pahlawan Kemerdekaan Nasional Republik Indonesia” lengkap dengan bendera merah putih diatasnya. Lokasi makamnya terletak di kaki Gunung Wilis, Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri.

Tidak ada petunjuk khusus untuk menuju makam. Kami sendiri mengandalkan google maps untuk menuju kesana. Dari jalan raya Desa Selopanggung, kami berbelok menuju sebuah dusun kecil dengan jalanan terjal dan kondisi aspal rusak. Sebelah kiri jurang dan kanan tebing kecil. Dari Dusun, kami melanjutkan perjalanan sejauh 300 meter lagi melewati jalan setapak bebatuan menuju bukit areal persawahan.

Sampai disana, baru lah ada tangga turun menuju lokasi makan. Tangga beton menuju makam itu baru saja dibangun. Disamping tangga terjejer batu yang dicat dengan warna merah-putih. Banyak pohon-pohon tumbuh di lokasi pemakaman tersebut. Lokasi pemakaman itu tampak tak terurus. Banyak ruerumputan liar tumbuh, daun-daun berhamburan diatas makam. Sebelum melakukan doa, kami berdua menyempatkan diri untuk membersihkan rumput di makam Tan Malaka. Setelah itu, karena hari mulai gelap,  kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Pare, tempat nginap kami malam nanti.

Tan Malaka, walau telah wafat 64 tahun lalu, sosoknya menjadi inspirasi dan spirit dalam gerakan sosial. Pemikirannya digandrungi oleh beberapa kalangan, termasuk mahasiswa. Beberapa karya besarnya telah dibukukan, antara lain Madilog;1943, Menuju Indonesia Merdeka (Naar de Republiek Indonesia; 1923), Gerpolek;1948, Aksi Massa, dan masih beberapa buku lainnya.

“Ingatlah Bahwa Dari Dalam Kubur Suara Saya Akan Lebih Keras Daripada Di Atas Bumi” – Tan Malaka

Mendapat “Bonus” di Kediri.
Diskusi Tan Malaka; patriot yang hilang dan kembali.

Kami merasa mendapatkan “bonus” dalam perjalan ke Kediri. Sebab, sehari sesudah ziarah ke makanya Tan Malaka, pada Rabu (21/12), diadakan sebuah diskusi oleh Tan Malaka Institut (TMI) di STAIN Kediri. Bagi kami ini sangat spesial dan berharga.

Rencana untuk melanjutkan perjalanan menuju Blitar kami tunda. Dari Pare kami menuju ke lokasi diskusi bertajuk “Patriot yang hilang dan kembali” itu. Diskusi itu menghadirkan pembicara dari TMI, rombongan dari Lima Puluh Kota (asal daerah Tan Malaka) yang diantaranya keluarga penerus Datuk Tan Malaka dan dihadiri ratusan mahasiswa.

Dalam diskusi itu dibahas sejarah, pelarian, pemikiran dan gerakannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia hingga rencana pemulangan jenazah ke tempat kelahirannya. Menurut seorang pembicara dari TMI, Tan Malaka adalah seorang guru atau pendidik, ketika dimana dia berada, dia menebar ilmu. “Pemikiran adalah awal dari tindakan dan gerakannya.”

Hengky Novaron, salah satu penerus Datuk Tan Malaka menambahkan bahwa Sutan Ibrahim (Tan Malaka) juga merupakan pemegang gelar Datuk Tan Malaka yang ke 4. Datuk Tan Malaka merupakan gelar adat Raja Bungo Setangkai masyarakat Minagkabau, gelar tertinggi yang membawahi 134 datuk kaum dengan 8 diantaranya datuk pucuk.

“Tiga pemegang gelar datuk sebelumnya, dan tiga dibawahnya telah meninggal dan dimakamkan di kampung halaman. Untuk keabsahan pengukuhan gelar Datuk Tan Malaka yang ke 7 keluarga harus memakamkan Datuk ke 4 di kampung halaman” tambah Hengky soal alasan untuk memulangkan jenazah Tan Malaka.

Pada diskusi itu, hadir juga aktivis partai Murba dan pendiri Tan Malaka Institut, Ben Ibratama Tanur. Di sela-sela diskusi, Ben, mengutip kata Tan Malaka berpesan kepada kami bahwa …. bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.

Mondok Bareng

“Belajar sama-sama, bertanya sama-sama, kerja sama-sama…. Semua orang itu guru,alam raya sekolahku…sejahteralah bangsaku . . .” diiringi tepuk tangan penuh kegembiraan, kami bernyanyi bersama. Beberapa anak tertawa, beberapa lainnya melongo, menatap heran mendegar dialeg kami yang berbeda.

Ya sore itu di perbatasan antara Kediri dan Blitar, tepatnya di kecamatan Wates, kami mampir disebuah panti asuhan. “Budi Mulia” nama yayasan yang mengasuh ratusan anak-anak yatim di wilayah Kediri itu. Kebetulan mereka lagi mengadakan “pondok liburan” – semacam pesantren kilat – untuk mengisi liburan semester sekolah. Berawal dari perkenalan kami dengan Haji Ema, ketua Yayasan Budi Mulia, akhirnya diajak mengunjungi pondok liburan itu. “Berbagi cerita perjalanan kalian dan motivasi ya untuk anak-anak di panti ..” kata beliau.

Selesai sholat Ashar berjamaah dengan anak-anak, kami bertiga – saya, Andi dan Apul – bergantian memperkenalkan diri dan bercerita kepada mereka. Tentang perjalana kami mengendarai motor dari jogja untuk berziarah ke empat makam tokoh bangsa di 4 kota di Jawa Timur hingga kisah-kisah inspiratif yang memotivasi mereka.

Di akhir pertemuan, kami bersama-sama bernanyi lagu Anak Merdeka dan Belajar sama-sama.  Setelah itu kami langsung pamitan dan melanjutkan perjalanan ke Blitar. Bersambung . . . . .
Previous
Next Post »