KITA HANYA SATU
(Kepada pahlawan gugur)
I
Kamu yang dulu sudah pergi
Berhenti untuk selamanya
Dan kamu yang baru saja pergi
Pada menghilang –
Gugur terkapar berhamburan di padang-padang hijau
Di lautan-lautan biru
Atau di udara luas bebas
Di tempat manakah gerangan
Saudaramu – ibu bapakmu – atau kekasihmu
Yang telah seia
melepaskan kamu untuk rela berjuang
Nanti dapat hamburkan segenggam bunga
Sebagai rempah pada gumpalan dagingmu
Yang telah punah meresap tanah
Mereka kan tanya sana ………… tanya sini ………
Daun-daun hijau di sisi jalan sunyi
Yang pernah disiram pancuran darahmu
Pasti akan basah lagi oleh disiram air mata keartria
Dari segala kekasih-kekasihmu
Yang tangisi kau karena baktimu
Waktu kau berdegap hati-maju menyerbu
Dengar, dengarkanlah!..........
Mereka tanya sana ……. Tanya sini ……..
Mereka ingin punya baktimu
II
Tapi dengar, dengarkanlah lagi ………
Satu saja telah tinggal keyakinan kita
Kamu telah turuti jejak datuk-datuk kita
Yang telah di lebur
tanah berabad-abad lalu
Kamu semua telah gugur karena ini jiwa merdeka
Kamu semua telah dibawa
angin
Dimalam mendung dari cuaca bulan suram
Terlihat kamu terbaring di sisi datuk-datuk kita
Yang telah dilebur tanah berabad-abad lalu
Yang barangkali tulang-tulangnya dapat kamu jumpai satu-satu
Dalam liang tanah
III
Kamu ini dan datuk-datuk kita itu hanya satu
Kita yang tinggal dengan kamu juga satu
Sama-sama kita berjuang
Sama-sama kita berkayuh
Sama-sama kita pegang tangkai dayung
Kita cari itu pulau.
Biarpun kamu pada menghilang
Tapi kita yang tingal terus berjuang
Mendekatkan jarak ini yang sudah kita
sama dekatkan
Biar bagaimana pula juga kita tidak akan berdiam
Kepada anak-anak dari kamu yang sudah pergi
Dan dari kita yang masih tinggal
Kita akan tutur ini sejarah
Kita akan ajar dia pegang tangkai dayung
Biking tutup ini jarak
Kamu pergi pada menghilang
Ikut tapak datuk-datuk kita
Kita yang tinggal akan berziarah setiap tahun –
Menghambur bunga
Kita akan pegang terus pegang tangkai dayung
Kita cari itu pulau
Ambon, Februari 1949
SAJAK
DARI RIWAYAT SEORANG KAWAN
Sudah dapat kini aku ramalkan
Sampai dimana istilah
persembunyian
Kita sebagai kawan
Tetap hidup bertolak belakang
Pada awal dan akhir keji yang kau kejar
Biar bapak-bapak kita bicara bangga
Sumpah dan kutuki anak sekarang
Persembunyian
Membawa sinar keonaran
Lukisan yang baru kau goreskan
Semata alat persembunyian rahasia mukamu
Tabir tidak akan tembus
Kalau bukan kau anak jahanam
Sinar dari timur
Tidak akan lagi bawa
kegemaran
Karna terlah putuslah tali-tali peradaban
Kau pergi
Kau mebelakangi hidup orang dewasa.
Ambon, Januari 1950
SURAT DARI
LAUT
Pada musim pancaroba yang begini seram
Berhembus dari segala awal kelahiran angin
Angin topan-topan mudah
Di datang dan pergi
Tidak pakai satu jarak waktu
Maka aku masih terus terkantung di laut
Menghitung-hitung ombak
Dengan sepuluh jari hidupkku
Mana nanti aku titi dalam kepanjangan usiaku
Maka bersama-sama janji burung camar
Pada pagi samar-samar dan di senja yang lalu berlalu
Aku gores dalam buku catatanku
‘’Aku telah tambah satu hari lagi di laut”
Kini sudah berapa lamakah aku di laut
Aku tidak tau
Kamu tidak tau
Karena musim sudah buta
Hanya aku sudah lama berlayar
Dari pulau datang ke pulau
Dari laut datang ke laut
Maka sekarang sudah
tinggal beberapa tanggal
Saja lagi
Dari ini bulan sial
Ini masa pancaroba akan berlalu
Akan datang angin musim - angin datang dari buritan
Maka dalam mimpiku tadi di siang hari
Ada kuliat tangan-tanganmu menjemput aku
Tapi belum habis khayalku ini
Aku sudah terjaga oleh gedebur layar tidak berangin
Maka hingga disinilah
Aku akhirkan ini urat dari laut
Keganti diriku yang bakal berjumpa
Kepada ibuku
Kepada bapakku
Kepada kekasihku
Dari laut
Dari
aku pemuda pelajar
Ambon, Maret 1949
JANJI TERAKHIR
Bagi kita anak kembara yang kini bertebaran
Di antara dua dunia penuh kekeringan
Tiap hari di tengah kelesuan panas menyesakkan dada
Tunduk kepala berteriak :
Tuhan! Tuhan!
Kita anak-anak manusia minta penjelasan
Lepas dari laut terik hari.
Ada kita dengar suara Tuhan bilang pada adam
“dimana kau ada?”
Tapi yah – manusia-manusia pada telanjang
Sudah lari bersembunyi di balik pohon dan
Belukar kehausan air
Meski semua dapat diterangi oleh bulatan caya
Yang kini merendang kepala botak
Pada akhirnya kita anak kembara sekarang harus
Terus membara
Kita minum peluh
Kita minum darah
Kita harus bercampur dengan debu musim kering
Kita jadi bangkai
Kita jadi debu
Sampai datang hari kiamat.
Kita sekarang sudah tambah langgar janji Tuhan
Sebab ini musim sudah jadi musim orang gila
Biar kita akan terus mengembara lama-lama
Kita toh akan jadi seperti cerita Lahmu’ddin dari Kufa
Dengan teka-teki kembara:
Aku mengenderai bapakku
Aku mengenakan ibuku
Aku makan yang hidup dari yang mati
Aku minum air bukan turun dari langt
Atau berasal dari bumi
Akhirnya Mu’ddin kawin putri raja.
Bagi kita anak kembara yang kini betembaran
Di antara dua dunia penuh kekeringan
Inilah amanat wasiat dari ibu bapak kita
Terpencil ke hutan kering atau padang tandus kepanasan
Kita akan membaca itu sebagai jampi
Terhanyut ke laut, bebas dari angin
Kita akan berkomat kamit
membacanya bersama
Ciut-ciut kegelisahan
Inilah pedomana kita anak kembara
Tunduk kepala minta penyelesaian dari Tuhan
Kita tidak berani lagi langgar amanat
Dari bu bapak kita yang sudah mati lepas dari ini masa
kekeringan
Mengembara hingga kapan datangnya masanya
Biar sampai hari kiamat.
Ambon, April 1949
SUMPAH
(Janji dengan H)
Saudara,
Tidak ada kini tangan yang membeku
Dari tingkat-tingkat hitungan ilmu pisah
Jarak sudah mati
Sudah mati pada sumpah kita sendiri
Dan berilah deru bayu lalu
Bawa butir-butir air tawar
Ke dalam unggun yang masih nyala
Aku yang anak desa tersendiri
Sekarang sudah punah hidup
Makan sama-sama dari satu pinggan yang belum bersih dicuci
Selesailah satu sumpah hari akhir
Saudara,
Kau yang hidup dekat api,dekat rumah orang buangan
Mari dengan aku anak asal Alifuru
Makan sumpah cara alifuru
Lalu kita makan sirih - tikam tombak
Kita dua ambil parang dan salawaku
Kita dua cakalele
Lanjutkan sumpah hari akhir
Ambon, Agustus 1949
PASANG
SURUT
Kalau pasang sudah surut dan
Tersembul naik serba batu laut kekeringan
Aku serahkan diriku pada musim
Hendak melihat daunan kuning gugur berhamburan
Dan beri tanda pada tonggak merah disisi jalan
Orang tidak lagi akan membawa kereta
Lari dari dua musim percabulan
Hanya beri tangan ‘nunjuk pada jalan
Atau pinta doa pada Tuhan
Perempuan yang sudah hamil atas jalan tidak halal
Akan pikir kutukan dari Tuhan
Takut tidak akan melihat jalan menurun
Meninggalkan hidup pegunungan
Kalau pasang sudah surut
Dan tersembul batu-batu kekeringan penuh lumut
Jangan ada lagi gadis perawan menadah tangan
Tapi pintalah pedoman
Janganlah sekali-kali kita jadi anjing kelaparan
Ambon,
Agustus 1949
MUSIM CENGKEH
Kawan
kalau musim cengkeh sudah tiba
Apakah
lagi yang akan dinantikan?
Sesama angin
di dalam hutan-hutan cengkeh
Akan
berkumandang bunyi tifa berbalas-balasan
Dengan
lagu dendang beramai-ramai
Biarlah
sekarag
Segala
cemooh yang tentu arahnya
Berlalu
dulu, tertawa sama unggas hutan
Menungu
datangnya masa pertukaran
Dimana do
akan menjadi sol
Sehinga
mengatasi segalah perbauran irama
sekarang
……..
inilah musim cengkeh
Kawan mari
bersama aku
Kita
perbaiki segalah kulit tifa yang sudah lapuk
Kasih dia
tangan mungkin
Menunggu
ini masa yang sudah membayang
Pada
perhitungan bulan dan cerita orang sekarag
Bahwa
panen cengkeh ada harapan.
Kawan,
kalau musim cengkeh sudah tiba
Apakah
yang akan dinantikan!
Mari kita
sama-sama naik ke hutan menurunkan orang banyak itu
Di dalam
bising suara unggas.
Ayo
mari kita kesana!
Beta pukul
tifa
Kawan
angkat pantun
Kita sama-sama
tata Job berdendang:
Hai jujaro
dan mungare
Mari sama-sama kita, pata cengkeh.
Ambon, Januari 1949
KETINGGALAN
I
Hari ini
Dan boleh jadi beso lagi
Aku tetap ketinggalan
Karena malam tadi
Aku kasip waktu
Sebab itu lonceng di dinding
Tidak berdetak lagi
Dan bintang pemberi pedoman
Ditutupi awan
II
Ada suara di jauhan
Memanggil-manggil aku
Dengan kata: KEMARI!
Serta laut lepas di hadapanku
Dan alunan ombak melambai aku
Tapi deru mesin
Dari itu perahu meter
Sudah sayup-sayup ke telingaku
III
Aku ingin lari berlepas diri
Dari ini tautan rantai
Pusaka peninggalan nenek-nenek
Dan ayahku juga
Tapi ada anjing garang di sisiku
Menyalak-nyalakku
IV
Apakah nanti orang bilang
Dan ejekan mengiring aku
Sekiranya mereka tidak tahu
Ini angin sakal sedang bertiup
Dan kawal penggiring tetap di sisiku?
Ambon, 1948
BERPISAH
Belum melalui satu lapisan hari
Kita berpegang tangan di liku jalan memuja keonaran
Kita berpisah-kita berpisah
Kita lawan tonggak peringatan
Dekat kubur-kubur anak pahlawan
Badan yang kuyup peluh
Bekas jalannya derita perpisahan
Mari sobek ini keonaran
Bawa dengan ini pernyataan perpisahan
Tetapi,
Lagi aku …… …….
Teriakan, teriakan
Lenyapnya hidup keonaran
Pada persimpangan jalan anak jalanan.
Ambon, Januari
1950
LEPAS
Kalau tubuh kedulian ini
Telah kaku melumpuh di bawah longgokan tanah, biarlah
Tetapi sekiranya masih mengalir darah merahku
Berdenyut menurutkan gerakan jantungku
Aku masih ingin lepas
Entah kemana . . .
Padakau tak ada perbatasannya
Asallah hidup yang sesat ini aku lompati
Pernah pada emosiku pernah mengalir janji-janjiku
Yang menggambarkan lompatan ketegangan jiwaku:
Aku ingin mengembara
Cari duniaku sendiri
Gunung-gunung biru dan laut lepas-bebas
Kemana tempat aku ini mengarung cari itu lepasan
Pada nanti menjadi saksiku
Dan deritaku sekarang ini
Biarlah mengenang dunia yang kini aku jejaki
Dengan segala kejalangannya
Nanti …
Kalau padaku tuhan ada lanjutkan denyutak jantungku
Aku harus saja lepas
Entah kemana . . .
Padaku taka da perbatasannya
Ambon,
Februari 1949
PELARIAN
TERAKHIR
Baru saja
terang membenam hari
Membayang
lagi mega merah asap kebakaran
Membawa
makluk lari berlepas diri
Pilih ! Mati
atau hidup
Di sini
masih ada orang kuat lari
Berlomba
dengan maut
Sedang aku
berharap dengan laut
Aku turun ke
laut
Tapi bukan
anak laut
Aku mau
tamatkan ini lembaran
Dalam kelam
hari/ biar dengan pedoman
Pada hanya
sebuah bintang
Yang lagi
bercahaya
Orang
berlomba
Aku berlomba
Aku membuat
satu pelarian terakhir.
Ambon, 1950
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon